Tuntunan Islam Bagi Para Makelar (2/2)

Tuntunan Islam Bagi Para Makelar (2/2)

Makelar menjadi fenomena unik yang menarik untuk didalami. Bidang usaha yang bisa dijalankan dengan modal (baca : uang) minimal. Pada postingan sebelumnya telah dibahas tentang tuntunan bagi para makelar yaitu jujur dan perjelaslah hak anda sebagai makelar. Dalam postingan kali ini akan kita lanjutkan pembahasan oleh DR. Arifin Badri, MA dalam majalah pengusaha muslim edisi perdana.

***


C. Hindarilah Khianat Terselubung
Di dunia ini, banyak orang bermuka dua. Berkesan menolong atau belas kasihan, namun sesungguhnya menyimpan kebengisan. Karenanya, dalam dunia percaloan Anda sering kali menemukan mediator yang
terkesan berpihak kepada Anda, tapi tanpa Anda sadari sebenarnya ia sedang bersekongkol dengan
penjual untuk mengeruk harta Anda.


Misalnya, bila A memiliki toko bahan bangunan, yang biasanya menjual genting @ Rp 1.000,- (seribu
rupiah), akan tetapi karena konsumen B datang ke toko tersebut di bawa oleh C yang berprofesi
sebagai tukang bangunan, maka A menjual gentingnya kepada B seharga @ Rp 1.050 (seribu lima
puluh rupiah), dengan perhitungan: Rp 1.000 adalah harga genting sebenarnya, dan Rp 50 adalah fee
untuk C yang telah berjasa membawa konsumen ke toko A.


Sudah barang tentu, ketika A menaikkan harga penjualan dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.050 dengan
perhitungan seperti di atas, tanpa sepengetahuan B. Pada kasus seperti ini B dirugikan, karena ia dibebani
Rp 50 sebagai fee untuk C, tanpa ada kesepakatan terlebih dahulu. Padahal biasanya, si C telah
mendapatkan fee dari si B yang setimpal atas jasanya memilihkan toko dan barang yang dibeli.


Sikap seperti ini tentu bertentangan dengan firman Allah Ta’ala:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (An Nisa’ 29).
Dan juga bertentangan dengan sabda Nabi n: “Tidak boleh melakukan tindakan yang dapat menimbulkan
kerugian pada orang lain, juga tidak dibenarkan membalas dengan yang melebihi perbuatan. Barang siapa
yang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, niscaya Allah timpakan kerugian kepadanya. Barang
siapa melakukan perbuatan yang menyusahkanorang lain, niscaya Allah menimpakan kesusahan kepadanya.”
(Riwayat Al hakim dan Al Baihaqi).

Bila pemilik toko memberi fee kepada C tanpa menaikkan harga jual, maka itu tidak salah. Atau, sebelumnya pemilik toko memberitahukan kepada pembeli bahwa harga genting ditambah fee yang akan diberikan kepada mediator, dan ternyata pembeli mengizinkan, maka ini dibenarkan.


D. Jangan Merusak Hubungan Mutualisme Masyarakat
Saudaraku! Seringkali kita merasakan begitu harmonisnya hubungan penduduk desa dan kota. Mereka hidup saling berdampingan. Bergantung antara satu dengan yang lain. Proses saling memberi dan menerima
telah berjalan dengan baik. Maka tidak ada alasan lain kecuali hubungan mereka terjalin dengan landasan atau asas saling menguntungkan. Bukan malah sebaliknya, menguntungkan satu belah pihak. Sementara pihak  lain harus menanggung kerugian. Asas saling menguntungkan inilah yang diharapkan menjadititik temu di antara mereka dalam satu jalinan atau ikatan yang harmonis, sarat dengan kerahmatan. Dan tentunya tak ada
pihak yang dirugikan.


Syari’at Islam melarang adanya pihak ketiga yang turut langsung mengambil keuntungan dari hubungan mereka. Pihak ketiga itu ialah para mediator alias calo atau makelar yang berperan menjualkan barang milik masyarakat desa kepada konsumen dari kota. Rasulullah n bersabda:
“Janganlah penduduk kota menjualkan barang milik penduduk desa”. Aku (Thawus, yaitu murid Ibnu Abbas) bertanya kepada Ibnu Abbas: Apa yang dimaksud dengan sabda beliau : “ Janganlah penduduk kota
menjualkan barang milik pendudukm desa”.? Beliau menjawab: “Yaitu tidak menjadi calo/mediator penjualan). (Muttafaqun ‘alaih)

Dalam konteks kekinian, sebagai contoh di pasar-pasar tradisional. Banyak para calo yang menawarkan jasa kepada masyarakat desa untuk menjualkan barangnya. Proses penawaran tersebut sudah pasti diikuti dengan pengharapan imbalan sebesar yang ia inginkan. Para calo akan mengatakan bahwa masyarakat desa akan mendapatkan untung yang besar. Tak henti-hentinya para calo mengiming-imingi keuntungan berlipat. Malah ada juga yang hiperbolis dengan rayuan akan diberi harga berbeda dengan yang lain.



Namun benarkah demikian yang terjadi? Tidak! Pada kenyataannya masyarakat desa hanya diuntungkan sekali dan dirugikan berkali-kali. Masyarakat kota biasanya membeli barang dagangan dari desa untuk  diolah menjadi barang yang siap dikonsumsi masyarakat luas. Dengan demikian, bila masyarakat kota mendapatkan bahan baku dengan harga mahal, maka hasil produksinya pun akan dijual mahal pula. Dan masyarakat desa pun akan menikmati barang produksi dengan harga yang mahal. Oleh karena itu, pada hadits lain, Rasulullah n menjelaskan keterkaitan harga ini dengan sabdanya:

“Janganlah penduduk kota menjualkan (menjadi calo penjualan) barang milik penduduk desa, biarkanlah sebagian masyarakat, dikaruniai rejeki oleh Allah dari sebagian lainnya.” (Riwayat Muslim).

Walaupun para calo mendatangkan keuntungan, baik bagi dirinya maupun masyarakat desa, akan tetapi keuntungan itu juga menyisakan kesusahan bagi semua masyarakat. Bila ini tidak segera dicegah, bukan mustahil bila ketimpangan ekonomi akan terus terjadi. Celakanya, bila sudah menjadi mental dan membudaya. Tak akan didapati suatu keseimbangan hubungan antara desa dan kota.


Bila dirunut lebih panjang lagi, maka akan banyak dampak ikutan lainnya. Karenanya, di sinilah betapa pentingnya kehadiran Islam. Karena mengatur kehidupan seproporsional mungkin. Islam lebih mendahulukan kepentingan masyarakat luas dibanding kepentingan segelintir orang. Penjelasan hukum percaloan antara masyarakat desa dengan masyarakat kota ini adalah pendapat yang dianut oleh mazhab Maliki, As Syafi’i, dan Hambali.(Al Mughni karya Ibnu Qudamah 4/ 150, Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 4/371, Bidayatul Mujtahid 2/134. Keterangan ini juga selaras dengan fatwa Komite Tetap Untuk Riset Ilmiyyah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia no: 14409.




Sudah saatnya, para calo berperan secara positif. Artinya, melakukan proses pembelian barang secara langsung di desa lantas dijual ke kota. Solusi ini memiliki banyak nilai positif. Di antaranya:

Pertama, banyak barang oleh masyarakat desa dikira tidak memiliki nilai ekonomis. Padahal barang itu laku untuk dijual setelah ada masyarakat kota yang terjun ke desa. Imam Ibnu Rusyd Al Hafid berkata: “Banyak barang di mata penduduk kampung kurang bernilai, berbeda dengan penduduk kota. Di kampung jauh lebih murah bahkan banyak barang dapat diperoleh di kampung dengan gratis, tanpa harus membayar.” (Bidayatul Mujtahid 2/134). Roda perekonomian desa akan berjalan dinamis seiring dengan terjunnya para pedagang
ke desa. Oleh karena itu, dahulu Sa’id bin Musayyib mengatakan: “Sesungguhnya orang yang memonopoli barang itu terlaknat dan orang yang mendatangkan barang dari kampung itu dilapangkan rejekinya.” Riwayat Abdurrazzaq dan lainnya).

Kedua, menutup pintu kejahatan para calo yang biasanya sarat dengan sifat tamak. Suatu sifat yang selalu melekat dari para calo. Akibat ambisi mendapatkan keuntungan besar, tak jarang para calo mempermainkan perputaran barang, sehingga mereka dapat dengan leluasa mengeruk keuntungan. Tak peduli seandainya ada pihak yang sengaja dirugikan. Dengan diharamkannya percaloan antara masyarakat desa —pemilik bahan-bahan kebutuhan pokok dengan masyarakat kota, maka kejahatan para calo dapat ditanggulangi.

Saudaraku! Dari mencermati teks hadits tersebut, jelaslah bahwa hukum ini tidak berlaku pada perdagangan barang tambang atau perdagangan internasional. Karena pemilik barang tambang adalah orang-orang kota atau orang-orang yang mengetahui harga barang yang berlaku di pasaran,—perorangan, perusahan atau bahkan negara.

Pendek kata, hukum ini hanya berlaku pada penjualan barang dagangan milik masyarakat desa atau yang semakna dengan mereka. Yaitu, orang-orang yang tidak menguasai pasar dan harga yang berlaku padanya. (Al Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/150 &Fathul Bari oleh Ibnu Hajar 4/371).

Demikianlah empat ketentuan yang seyogyanya dipahami, sebelum Anda hendak menekuni profesi sebagai mediator penjualan atau pembelian. Wallahu a’alam bisshowab.




No comments:

Post a Comment