Pahala Berlimpah Para Pencari Nafkah

Pahala Berlimpah Para Pencari Nafkah

Mencari nafkah menjadi kewajiban seorang suami selaku kepala rumah tangga. Kewajiban utama disamping kewajiban yang lainnya. Kewajiban yang telah menjadi sebuah keniscayaan. Sebuah kabar gembira bagi mereka para pencari nafkah, pahala berlimpah. Bagaimana bisa? Sangat bisa sebuah kewajiban ini menjadi ladang pahala. Lebih jelasnya telah dijelaskan oleh Ustadz Abu Ahmad Zaenal Abidin bin Syamsuddin di majalah pengusaha pengusaha muslim edisi perdana berikut ini.

***

Para pengusaha muslim harus memiliki dedikasi yang tinggi dalam mengembangkan usahanya. Bersemangat memerangi kemalasan, mengenali medan usaha, dan tidak berputus asa. Dengan demikian, pengusaha muslim akan tangguh, mandiri dan mampu memberantas kemiskinan.

Nabi shalallahu'alaihi wassalam bersabda: “Tidak ada makanan yang dimakan seseorang yang lebih baik dari
makanan yang merupakan usaha tangannya sendiri, karena Nabi shalallahu'alaihi wassalam, makan dari hasil usaha tangannya sendiri.” 1

Islam sangat membenci pemalas yang menjadi beban orang lain. Padahal setiap individu dikarunia Allah dengan bekal kelebihan masing-masing. Dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar bahwasannya Nabi shalallahu'alaihi wassalam bersabda: “Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian, kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil daging pun.” 2

Abu Qasim Al Khatly bertanya kepada imam Ahmad: “Apa komentar Anda terhadap orang yang hanya berdiam di rumah atau di masjid lalu berkata: aku tidak perlu bekerja, karena rejekiku tidak akan lari dan pasti datang. Maka beliau menjawab: orang tersebut bodoh terhadap ilmu. Apakah tidak mendengarkan sabda Rasulullah : Allah menjadikan rejekiku di bawah kilatan pedang (jihad).” 3

Sahl bin Abdullah At Tustary berkata: barangsiapa yang merusak tawakal berarti telah merusak pilar keimanan dan siapa yang merusak pekerjaan berarti telah membuat kerusakan dalam sunah.4

Allah tidak melarang para hamba-Nya berusaha. Bahkan Allah mencintai segala bentuk usaha asalkan sesuai dengan kaidah dan prinsip agama. Bahkan Allah memberi ampunan kepada orang yang kecapekan karena mencari nafkah. Sebagaimana sabda nabi: “Barangsiapa yang bermalam badannya capek karena pekerjaannya, maka bermalam dalam keadaan terampuni dosanya.”5

Wahai saudaraku, saya sengaja memaparkan beberapa atsar dari para ulama untuk menepis anggapan sebagian orang bahwa mencari nafkah dengan cara yang benar --untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, merupakan cinta dunia yang menodai sikap kezuhudan. Padahal tidaklah demikian. Bahkan Abu Darda’ berkata: “Termasuk tanda kefahaman seseorang terhadap agamanya, adalah adanya kemauan untuk mengurusi nafkah rumah tangganya. “6

Pengusaha Muslim Harus Bangkit
Krisis ekonomi global jangan sampai mematahkan semangat pengusaha muslim. Apalagi menjerumuskan diri  dalam jurang keputusasaan. Justru sebaliknya, krisis ekonomi global sebagai realitas yang harus dihadapi dengan bekal kesungguhan, ilmu, ketawakalan dan menjauhi sifat pengecut. Krisis harus disikapi sebagai bentuk pengingat, cambuk bagi kita semua untuk bangkit mencari peluang, membuka kran rejeki yang mampet. Karena pengusaha muslim dituntut menjadi teladan paripurna, termasuk semangatnya dalam mengais rejeki dan membuka lapangan kerja yang halal.

Abdurrahman bin Auf ketika hijrah ke Madinah dengan segala keterbatasannya. Meski mendapat tawaran bantuan, namun beliau mengatakan: “Tunjukkan kepadaku di mana pasar Madinah?” Akhirnya, dalam waktu yang tidak begitu lama beliau sudah mampu hidup mandiri.

Kesibukan para utusan Allah dan ulama salaf, dalam mencari ilmu dan berdakwah tidak melalaikan mereka mengais rejeki yang halal. Maka, para pengusaha muslim harus bisa meneladani mereka. Mensinergikan antara kepentingan duniawi dan ukhrowi. Jangan lalai di satu sisi. Mesti proporsional.

Kini, apapun bentuk usahanya, asalkan halal dan diperoleh dengancara yang benar harus dijalani dengan sungguh-sungguh dan penuh suka cita. Hilangkan perasaan rendah diri, malu atau gengsi. Perbaiki atau luruskan kembali niat ini apabila sempat goyah. Katakan lalu camkan dalam hati bahwa apa yang kita usahakan adalah dalam rangka ibadah kepada Allah Ta'ala.

Ingat, ukuran dikatakan mulia dan tidaknya sebuah usaha atau profesi tidak bergantung dari pandangan manusia. Namun, sangat ditentukan oleh kehalalan dan benarnya jenis usaha dihadapan Allah serta terpuji dari sisi syariat. Sebesar apapun keuntungan yang diperoleh, namun bila didapat dari perniagaan atau profesi yang tidak halal dipastikan tidak bakal barokah.

Para nabi dan rasul telah memberikan contoh kepada kita. Misalnya, Nabi Zakaria menjadi tukang kayu, Nabi Idris menjahit pakaian dan Nabi Daud membuat baju perang. Artinya, bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunah. Berusaha untuk mencari nafkah, baik berniaga, bertani atau berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap tawakal.7

Begitu pula para ulama salaf. Mereka tergolong orang yang rajin bekerja, menuntut ilmu serta berdakwah menyebarkan agama. Tidak mengapa seorang bekerja di bidang dakwah lalu mendapat imbalan dari pekerjaan tersebut. Karena Umar bin Khatab ketika menjadi khalifah mencukupi kebutuhan keluarganya dari baitul mal.8

Perlu diketahui bahwa kualitas seseorang sangat tergantung pada hasil ikhtiar yang dia perjuangkan. Termasuk keberhasilannya untuk memberi manfaat bagi banyak orang. Maka seorang pengusaha muslim harus hidup berkecukupan. Karena dengan hidup berkecukupan pengusaha muslim akan lebih banyak memiliki peran. Bukan hanya persoalan untuk kepentingan pribadi. Misalnya, menuntut ilmu, mencukupi kebutuhan keluarga yang bersifat duniawi saja. Namun, di ladang dakwah seorang pengusaha muslim yang berkecukupan juga bisa beramal shalih dan berdakwah.

Catatan Kaki:
1 . Shahih diriwayatkan Imam Bukhari dalam Shahihnya (2072) dan Imam al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 8/ 6
2 . H.R Bukhari, Muslim dan Nasa’i dalam sunannya.
3 . Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, Hal: 302.
4. Talbisul Iblis, Ibnul Jauzi, Hal: 299.
5 . Lihat fathul Bari, 4/353.
6 . Diriwayatkan Ibnu Abu Dunya dalam Ishlahul Mal Hal:223, Ibnu Abu Syaibah (34606) dan Al Baihaqi dalam As Syuab (2/365)
7. Lihat Fathul Bary, Juz 4. / l 358 dan Al Minhaj Syarah Sahih Muslim Juz, 15/ 133.
8 . Lihat Fathul Bary, 4 / 357.

No comments:

Post a Comment