Mendunia Bersama Radio Kayu


Mendunia Bersama Radio Kayu

Kampung halaman merupakan tempat kita dilahirkan dan dibesarkan. Disana ada banyak kenangan indah bersama sahabat kecil dan keluarga kita. Dibalik nuansa kehangatan itu terdapat peluang bisnis untuk meraup rupiah. Sebagai pengusaha tulen, seorang warga di Temanggung mampu mengolah potensi desa menjadi peluang usaha bagi warganya. Kisahnya sangat menarik sebagaimana di muat di majalah pengusaha muslim edisi perdana.
***

Bagi kebanyakan orang, desa bukanlah tempat yang menarik. Baik secara fisik maupun ekonomi. Ketidakmenarikan itulah yang menjadikan satu per satu masyarakat meninggalkan desanya. Mereka lebih suka memilih kota sebagai tempat labuhan dalam mempertahankan hidup. Maklum, kota bagi mereka dianggap sebagai lumbung uang yang berlimpah. Meski ada di antara mereka datang ke kota nihil  etrampilan. Alias modal nekat.

Namun, tidak demikian dengan Singgih Susilo Kartono. Pria kelahiran 21 April 1968 ini justru pulang ke desa dan menjadikan desa sebagai modalitas untuk berkarya. Malah dari desa itulah bisnisnya berkembang pesat. “Mungkin secara fisik lambat laun desa semakin menunjukkan kemajuannya. Namun belum dari
sisi mental dan fikirannya,” ujar Singgih.

Bagi Singgih, keputusannya untuk kembali ke desa bukanlah tanpa alasan. Menurut alumnus Fakultas Seni dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB) ini, dirinya merasa terpanggil untuk membayar investasi yang telah ditanamkan desa ke dalam dirinya. Pria yang tinggal di Kandangan, Kecamatan Kandangan, Temanggung pun sadar akan  resiko bila bertahan hidup di desa. Bukan hanya persoalan kehidupan desa yang jauh dari kompetisi ekonomis dibanding kota. Namun, juga faktor desa yang secara potensi sangat sulit berkembang. Baik dari infrastrukturnya hingga persoalan
SDM yang kian banyak yang enggan untuk kembali ke desa.

Tapi bagi sosok Singgih yang cenderung kalem ini, sebetulnya desa memiliki sumber potensi ekonomis yang luar biasa. Yang tak akan ditemui di kota. Singgih menyayangkan kenapa banyak SDM desa yang harus
meninggalkan kampung halaman hanya untuk bertaruh nasib hidup di kota. Padahal Singgih menilai berkompetisi hidup di kota tidaklah mudah.

Dorongan moral dan rasa tanggungjawab terhadap tanah kelahiran itulah yang menggungah Singgih untuk menciptakan lapangan kerja. Hidup bersama 4000 jiwa penduduk lainnya, Singgih menekuni satu usaha yang
pada dasarnya sudah banyak digeluti orang. Yakni kerajinan kayu, yang diberi nama ‘Piranti Works’atau Magno. Usaha yang dijalankan sejak tahun 2004 ini, bila berkembang mentargetkan
mampu menampung sekitar 500-1000 perajin. Atau hampir 1/8 s.d. ¼ masyarakat desa.

Dari aspek nama, Magno diambil dari kata “magnify” yang berarti menarik. Bagi suami dari Tri Wahyuni ini, dipilihnya kayu sebagai bahan baku terhadap produknya ternyata memiliki makna filosofis yang dalam. Singgih menganggap kayu adalah material yang sempurna. Seperti ada kekuatan, kelembutan, kekokohan  sekaligus kerapuhan dalam material kayu. Sifat dari material kayu itulah yang mencobadijadikan spirit bagi Singgih dalam produk-produk modern saat ini. Memadukan produk-produk modern dengan material alam.
Bagi Singgih, produk elektronik yang berbahan material kayu sebagai pengganti bahan plastik, terkesan memiliki aura baru.

Produk yang telah dibuat sejauh ini berupa radio personal tipe WR01A/2B. Radio kayu yang mengambil bentuk ikon dasar radio, sehingga bentuk dan konfigurasinya sangat mendasar. Box dengan grill speaker, knop, handle dan antenna merupakan bahsa ikon radio yang sudah sangat dikenal. Ada pula radio meja tipe WR03-CUBE/4B dan WR03- RECT/$B. Radio meja yang berukuran besar dan tidak portable ini merupakan radio 4 band (FM/AM/SW1/SW2). Juga mainan anakanak yang semuanya dibuat dengan bahan material kayu. Di mana desain menjadi titik perhatian utama.

Bagi Singgih, desain haruslah merangkum setiap cara untuk menyelesaikan berbagai masalah dan meminimalkan sedikit mungkin bagi timbulnya permasalahan baru. “Saya menyukai bentuk yang sederhana, mendasar namun detail penggarapannya,” imbuh Singgih. Desain juga harus mempertimbangkan aspek ketersediaan bahan baku lokal. Pola ini Singgih yakini akan mengurangi tingkat konsumsi kayu sekaligus memberikan lapangan kerja. “Kami mengganti kebutuhan kayu untuk produksi dengan  menggunakan prinsip tebang sedikit tanam lebih banyak,” Singgih menandaskan.

Tak heran bila di pekarangannya, Singgih menanam bibit dari jenis Mahoni, Sonokeling dan Pinus. Di mana bibit-bibit tersebut dibagikan secara gratis kepada masyarakat untuk dimanfaatkan sebagai penghijaun di sebuah desa di kaki gunung Sumbing.

Menyinggung soal usahanya, Singgih mengaku mampu memproduksi ratusan radio per bulannya. Dengan penetrasi pasar mulai dari Jepang, Amerika, Jerman. Harga per unit US$ 49-56, Jepang 17.500 yen dan Jerman 160-240 euro. Sementara di pasaran nasional per unit seharga Rp 1,1- 1,3 juta. Mahalnya harga tersebut menurut Singgih, lantaran produknya bukanlah komuditas namun benda koleksi yang lebih
bersifat personal. Maka tak ada istilah nego harga. Meski telah dipatenkan, tentu ide besar Singgih menginspirasi orang lain mengikuti jejak usahanya. Konsekuensinya adalah adanya persaingan. Pun demikian, lelaki pemili dua mobil VolksWagen ini mengaku tak khawatir. Sebab, dia yakin melalui desain dan brand yang sudah mapan, tak akan goyah oleh persaingan.

Dalam membangun usahanya ini, Singgih mengaku awalnya hanya bermodal Rp 500 ribu ditambah dengan uang pinjaman teman sebesar Rp 10 juta dan satu vespa butut. Kini, Piranti Works/Magno telah berhasil mendapatkan pasar. Bahkan radio desain Singgih beberapa kali mendapatkan penghargaan dari dalam dan luar negeri. Sebuah catatan prestasi yang membanggakan tentunya. Pria berkarakter tenang yang mengaku lahir bukan dari keluarga pebisnis ini hanya menikmati kesuksesan usahanya tak lebih dari 25 persen. “Sisanya telah menjadi hak masyarakat dan lingkungan,” tandasnya.

Ditanya soal apa rahasia dibalik kesuksesan bisnisnya? Dengan penuh optimistis Singgih menjawab: “Dalam berbisnis mesti dilambari kejujuran bukan spekulasi. Lebih penting lagi harus memiliki tekad kuat, kesungguhan hati pantang menyerah,” ucapnya tegas. Ya, kisah Singgih barangkali telah menginspirasi banyak orang untuk berbuat sama. Paradigmanya patut diacungi jempol. Sikap hidup bersandar pada potensi desa inilah yang jarang ditemui pada pengusahapengusaha saat ini. Salut. (Herbayu)

No comments:

Post a Comment